Sabtu, 19 Juli 2008

nilai-nilai pendidikan

NILAI-NILAI PENDIDIKAN

Nilai Estetika Pendidikan

BAHASA menunjukkan cerminan pribadi seseorang. Karakter, watak, atau pribadi seseorang dapat diidentifikasi dari perkataan yang ia ucapkan. Penggunaan bahasa yang lemah lembut, sopan, santun, sistematis, teratur, jelas, dan lugas mencerminkan pribadi penuturnya berbudi. Sebaliknya, melalui penggunaan bahasa yang sarkasme, menghujat, memaki, memfitnah, mendiskreditkan, memprovokasi, mengejek, atau melecehkan, akan mencitrakan pribadi yang tak berbudi.

Tepatlah bunyi peribahasa, "bahasa menunjukkan bangsa". Bagaimanakah sebenarnya tingkat peradaban dan jati diri bangsa tersebut? Apakah ia termasuk bangsa yang ramah, bersahabat, santun, damai, dan menyenangkan? Ataukah sebaliknya, ia termasuk bangsa yang senang menebar bibit-bibit kebencian, menebar permusuhan, suka menyakiti, bersikap arogan, dan suka menang sendiri.

Bahasa memang memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional. Begitu pentingnya bahasa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu suatu kebijakan yang berimplikasi pada pembinaan dan pembelajaran di lembaga pendidikan. Salah satu bentuk pembinaan yang dianggap paling strategis adalah pembelajaran bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa Jawa, dan bahasa lainnya di sekolah. Dalam KTSP, bahasa Indonesia termasuk dalam kelompok mata pelajaran estetika. Kelompok ini juga merupakan salah satu penyangga dari kelompok agama dan akhlak mulia. Ruang lingkup akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral.

Kelompok mata pelajaran estetika sendiri bertujuan untuk meningkatkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan dan mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan itu mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga mampu menikmati dan mesyukuri hidup, maupun dalam kehidupan kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan kebersamaan yang harmonis.

Tujuan rumpun estetika tersebut dijabarkan dalam pembelajaran yang bertujuan agar peserta didiknya memiliki kemampuan antara lain

(1) Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis

(2) Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial. Tujuan tersebut dilakukan dalam aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.

kambingcommunity

Nilai-nilai Moral Pendidikan

Oleh: William Chang


KONFLIK batin dialami sejumlah siswa SMA beberapa menit setelah mendengarkan pelajaran tentang nilai-nilai moral. Dalam ruang kelas, guru memperkenalkan dan mengajarkan nilai saling menghargai, menghormati sesama, menghindari tindak kekerasan, hidup jujur, dan berlaku adil.

Di luar kelas, mereka menyaksikan peristiwa perendahan martabat manusia, tawuran antarrekan pelajar, pemuda mengejek pemudi yang sedang lewat, tindak kekerasan oleh preman, oknum penguasa, korupsi di depan umum (bdk. Seminar Perguruan MTB "Kecerdasan Emosional dan Penanaman Nilai-nilai Moral dalam Konteks Pembelajaran Siswa"di Pontianak, 17-18/10/ 2003).

Jalan-jalan haram terus bertambah dalam proses memperkaya diri dan golongan, mulai dari "salam tempel" di jalan raya, kantor lurah, camat, bupati, dan tempat-tempat pelayanan kemasyarakatan. Tak sedikit gubernur, wali kota, bupati, dan pejabat lain yang acapkali "diperas" wartawan, LSM, dan bahkan anggota DPR(D) yang bercita-cita memperjuangkan nasib rakyat. Sebaliknya, ada juga dari sejumlah oknum pejabat yang main sogok dalam proses merebut kedudukan dalam pemerintahan.

KONTRADIKSI dan disintegrasi antara pendidikan nilai moral di ruang sekolah (kadang nilai ini tidak pernah ditanamkan!) dan keadaan dalam masyarakat muncul karena beberapa alasan.

Pertama, penanaman nilai moral dalam dunia pendidikan formal umumnya masih berupa seperangkat teori mentah, terlepas dari realitas hidup masyarakat. Kurang digali akar terjadinya diskoneksitas antara penanaman nilai moral dan praksis hidup moral dalam masyarakat.

Kedua, sebagai lembaga formal yang menyiapkan peserta didik untuk bertindak dan mentransformasi diri sesuai nilai-nilai moral, ternyata sekolah belum memiliki jaringan kerja sama yang erat dengan keluarga asal peserta didik, lembaga pemerintah, nonpemerintah, dan seluruh masyarakat.

Ketiga, adanya kesenjangan pandangan hidup antara mereka yang menjunjung tinggi dan melecehkan pesan moral dalam hidup sosial sehari-hari. Masih tumbuh subur kelompok sosial yang menghalalkan dan merestui segala cara dan jalan mencapai sasaran yang digariskan.

SETELAH tampil sebagai sistem pendidikan terbaik se-Inggris tahun 2002, Burnmouth kembali menggarisbawahi pentingnya jaringan kerja sama antarunsur dunia pendidikan formal, nonformal, dan informal. Program dalam dunia pendidikan formal akan "berhasil" jika didukung unsur-unsur sosial dalam masyarakat. Tanpa kerja sama dan dukungan antaranasir sosial terkait, sosialisasi nilai-nilai moral sering mendapat kendala. Lembaga apa pun di masyarakat, entah milik pemerintah atau nonpemerintah, perlu mendukung perwujudan nilai-nilai moral yang disemai melalui dunia pendidikan formal. Perilaku yang korup, tak bertanggung jawab, dan manipulatif dengan sendirinya mengkhianati kaidah moral yang ingin diperkenalkan dunia pendidikan formal.

Nilai-nilai moral yang perlu disosialisasikan dan diterapkan di masyarakat kita dewasa ini umumnya mencakup:

Pertama, kebebasan dan otoritas: kebebasan memiliki makna majemuk dalam proses pendidikan formal, nonformal, dan informal. Selama hayat dikandung badan, tak seorang pun memiliki kebebasan mutlak. Manusia perlu berani untuk hidup dan tampil berbeda dari yang lain tanpa melupakan prinsip hidup dalam kebersamaan. Kebebasan manusia pada hakikatnya bukan kebebasan liar, tetapi kebebasan terkontrol. Kebebasan tanpa tanggung jawab mengundang pemegang roda pemerintahan dalam republik ini untuk menyelewengkan kuasa mereka demi kepentingan terselubung mereka. Kekuasaan yang seharusnya diterapkan adalah kekuasaan nutritif yang menyejahterakan hidup rakyat banyak;

Kedua, kedisiplinan merupakan salah satu masalah akbar dalam proses membangun negara ini. Kedisiplinan rendah! Sampah bertebaran, para pemegang kuasa menunjukkan posisi mereka dengan menggunakan "jam karet", aturan lalu lintas tak pernah sungguh-sungguh ditaati, tidak sedikit polantas hanya duduk-duduk di bawah pondok di sudut dan mengintai pelanggar lalu lintas; kedisiplinan mengatur lalu lintas memprihatinkan; banyak oknum disiplin dalam tindak kejahatan, seperti korupsi; kedisiplinan dalam penegakan hukum positif terasa lemah sehingga kerusuhan sosial sering terulang di beberapa tempat.

Ketiga, nurani yang benar, baik, jujur, dan tak sesat berperan penting dalam proses sosialisasi nilai moral dalam negara kita. Hati nurani perlu mendapat pembinaan terus-menerus supaya tak sesat, buta, dan bahkan mati. Para pemegang roda pemerintahan negara kita, para pendidik, peserta didik, dan seluruh anasir masyarakat seharusnya memiliki hati nurani yang terbina baik dan bukan hati nurani "liar" dan sesat. Keadaan sosial negara kita kini adalah cermin hati nurani anak-anak bangsa. Penggelapan dan permainan uang oleh pegawai-pegawai pajak, "pembobolan" uang di bank menunjukkan nurani manusia yang kian korup (bdk. John S Brubacher, Modern Philosophies of Education, New York: McGraw-Hill Book Company, 1978).

TERNYATA bukan tanpa halangan untuk menjalankan pendidikan nilai-nilai moral di tengah kurikulum pendidikan formal yang terasa "mencekik". Bagaimanakah seorang pendidik bisa menanamkan nilai moral dalam sebuah kurikulum demikian? Ada beberapa kemungkinan.

Pertama, terbuka peluang bagi pendidik untuk menggali dan menanamkan nilai-nilai moral di bidang pelajaran yang dipegang selama ini.

Kedua, pendidik bisa menyisipkan ajaran tentang nilai moral melalui mitos-mitos rakyat.

Ketiga, kejelian/kreativitas pendidik menggali identitas nilai moral.

Jelas, penanaman nilai-nilai moral dalam dunia pendidikan formal sama sekali tak bersifat otonom, tetapi selalu terkait dunia lain di luar lingkaran dunia pendidikan formal. Lingkungan keluarga, pengusaha, RT, lurah, camat, bupati, wali kota, gubernur, penagih pajak, imigrasi, polisi, tentara, jaksa, pengadilan (negeri, tinggi), Mahkamah Agung, kabinet, dan presiden seharusnya memiliki dan menghidupi perilaku yang benar-benar mendukung proses penanaman, penerapan, dan sosialisasi nilai-nilai moral yang digalakkan para pendidik.

Pemerintah dan masyarakat diharapkan menjadi sekolah yang dapat mensosialisasikan (terutama dalam arti menghidupi) pendidikan nilai-nilai moral.

Nilai Sosial Pendidikan

Lingkungan dalam Pendidikan Indonesia

Author: matoa

Oleh Ubaidillah Syohih

Beranjak dari berbagai pemahaman mengenai paradigma pengajaran, hingga saat ini saya belum ingin mengatakan pengajaran itu sebagai pendidikan, Indonesia saat ini dalam kaitannya dengan proses transformasi nilai-nilai etika lingkungan, perlu kiranya kita menengok ke dalam diri kita, mengingat kembali pengalaman-pengalaman saat kita diajar. Sejauh ini, pola pengajaran pada lembaga-lembaga pengajaran di Indonesia cenderung mengarahkan peserta ajar untuk sekadar tahu dan hapal mengenai hal-hal yang berkenaan dengan lingkungan agar hasil ujiannya baik.

Hal tersebut diperparah dengan diterapkannya sistem pemeringkatan nilai peserta ajar di akhir semester. “Kamu ranking berapa? Aku rangking satu dong.” Sebuah kalimat yang biasa kita dengar ketika pembagian rapor dilakukan. Ditambah lagi dengan ungkapan, “Anak ibu rangking berapa?” atau “Kamu tuh gimana sih, masa teman kamu bisa rangking 1 kamu gak bisa?”. Hal ini menggambarkan kepada bahwa justru pola pengajaran Indonesia saat ini lebih mengajarkan peserta ajarnya untuk berkompetisi yang pada akhirnya menimbulkan perilaku-perilaku buruk seperti mencontek, bekerja sama ketika ujian, dan perilaku lain yang pada intinya mengarah pada penghalalan segala cara agar memperoleh nilai yang baik, agar tidak dimarahi orang tua, dan agar diperhatikan pengajar yang pada akhirnya mereduksi proses transformasi nilai-nilai etika lingkungan.

Pada sebuah diskusi mengenai adaptasi perubahan iklim melalui sektor pendidikan di Bogor beberapa waktu yang lalu, seorang peserta diskusi memaparkan pengalamannya belajar di sebuah institusi perguruan tinggi yang banyak mengajarkan tentang aspek-aspek lingkungan, namun dia merasa sistem pengajaran yang diterapkan di perguruan tinggi tersebut belum, bila tidak ingin dikatakan tidak, mampu menumbuhkan dan mengembangkan kepekaan dan kesadaran peserta ajar pada lingkungan walaupun ilmu-ilmu yang diajarkan adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan lingkungan. Lalu apa dan atau siapa yang salah? Objektifikasi peserta ajar, ketidakmampuan pengajar dalam mentransformasi nilai-nilai etika lingkungan, sistem pengajaran, atau kurikulumnya yang salah?

Objektifikasi peserta ajar. Hal ini dimengerti bahwa selama ini, peserta ajar adalah objek atas transfer ilmu dari subjek yang bernama pengajar. Peserta ajar ,saat ini, jarang sekali dilibatkan dalam diskusi-diskusi atau diajak berdiskusi mengenai hal-hal yang mengarah pada pengembangan kreatifitas, kekritisan, dan kesadaran peserta ajar atas contoh- contoh kasus yang, harapannya, disampaikan oleh pengajar. Pengajar seperti melakukan teater monolog di mana peserta ajar duduk termangu menonton pengajarnya bermonolog.

Ketidakmampuan pengajar dalam mentransformasikan nilai-nilai etika lingkungan. Tingkat kepakaran pengajar pada suatu bidang kadang kala membuat sang pengajar enggan untuk mentransformasikan hal-hal di luar bidang yang dikuasainya, terlebih lagi hal itu dianggap bertentangan dengan bidang yang digelutinya selama ini. Selain itu, hal tersebut pun terjadi karena sang pengajar pun belum memperoleh pengetahuan, atau belum mengaktualisasikan, nilai-nilai etika lingkungan, sehingga tentunya ia tidak mampu untuk mentransformasikan nilai-nilai etika lingkungan kepada peserta ajar.

Sistem pengajaran. Sebagaimana telah dijelaskan pada pengantar tulisan ini, sistem pengajaran di Indonesia saat ini hanya mampu membentuk peserta ajar menjadi robot-robot di mana orangtua sebagai pengendalinya dan pengajar sebagai benda yang memancarkan gelombang (kurikulum) untuk akhirnya ditangkap oleh sensor yang ada di otak peserta ajar. Akan baik kiranya bila orang tua mengarahkan anaknya untuk mengembangkan, kepekaan, kesadaran, wawasan dan kreatifitas anaknya terhadap nilai-nilai lingkungan dan didorong pula oleh pengajar dengan memberikan materi yang merangsang peserta ajarnya untuk kritis dan kreatif. Namun pada kenyataannya, saat ini hal itu masih sangatlah jarang ditemui, apalagi bila kita melihat di sekolah-sekolah maupun perguruan-perguruan tinggi negeri.

Kurikulumnya yang salah? Lancang memang bila saya memasuki wilayah yang notabene dikuasai oleh pemerintah dan lebih lancang lagi sepertinya bila saya menganggap kesalahan kurikulum ini adalah kesalahan pemerintah. Penandatanganan nota kesepahaman antara Menteri Lingkungan Hidup dengan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup pada tanggal 3 Juni 2005 merupakan langkah awal yang baik dilakukan oleh pemerintah sebagai langkah awal terintegrasinya nilai-nilai etika lingkungan ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Namun perlu kita ingat bahwa apapun kebijakan pemerintah yang dibuat, bila tidak diselaraskan dengan pencerabutan keadaan struktural sistem pendidikan Indonesia yang telah begitu mengakar dan sulit diubah, tidak akan mampu mengubah paradigma pendidikan Indonesia yang masih hanya mengedepankan transfer pengetahuan hingga saat ini.

Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Tentunya hal tersebut berpijak pada siapa kita. Bagian dari birokrasikah? Bagian dari akademisikah? Bagian dari orang tuakah? Bagian dari peserta ajarkah? Bagian dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi kemasyarakatankah? Atau kita hanya menganggap sebagai seorang individu tanpa label? Apapun kita, lakukanlah langkah dan gerakan yang terbaik sesuai dengan label masing-masing agar nilai-nilai etika lingkungan dapat tertransformasi dengan baik sehingga bangsa Indonesia dan bangsa Bumi, serta makhluk hidup lainnya dapat melestarikan peradabannya.

Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga kita mampu menjadi bangsa yang terdidik dan mampu menjadi pendidik yang baik untuk anak - cucu kita.

“Anak didik tidak hanya disiapkan agar siap bekerja, tapi juga bisa menjalani hidupnya secara nyata sampai mati. Anak didik haruslah berpikir dan pikirannya itu dapat berfungsi dalam hidup sehari-hari. Kebenaran adalah gagasan yang harus dapat berfungsi nyata dalam pengalaman praktis.” John Dewey (1859 – 1952)

catatan penulis : pernah dipublikasikan di beritahabitat.net dan kabarindonesia.com

Jumat, 18 Juli 2008

home schooling yang unik

” Upaya mengembalikan fungsi rumah sebagai wahana tarbiyah Islamiyyah sebagaimana diamalkan Salaful Ummah”

Oleh : Abu Muhammad Ade Abdurrahman

Home-Schooling secara harfiah berarti : bersekolah di rumah.

Home-Schooling diselenggarakan ketika orangtua berkeberatan atau merasa kesulitan menyekolahkan anaknya, baik karena alasan jarak (karena tinggal di pedalaman, misalnya) ataupun karena alasan-alasan tertentu lainnya.

Mengapa disebut Home-Schooling (bersekolah di rumah), bukan Home-Learning (belajar di rumah) ? Padahal istilah yang kedua sebenarnya lebih tepat. Barangkali ini adalah bias budaya. Kita maklum, saat ini bersekolah merupakan tradisi yang sudah sedemikian merata. Hingga kemudian dianggap suatu kelaziman, atau bahkan keharusan bagi anak-anak.

Karena itu, ketika seseorang mencoba untuk tidak menyekolahkan anaknya maka dia khawatir akan dianggap telah melakukan ‘pelanggaran terhadap hak asasi anak’.

Untuk itulah, barangkali, para orangtua yang menyelenggarakan pembelajaran anak-anak mereka di rumah seakan hendak ‘membela diri’, bahwa merekapun sebenarnya menyekolahkan anak-anak mereka juga. Hanya berbeda lingkungan dan metodenya. Itulah, mengapa kemudian disebut Home-Schooling. Untungnya, dalam hal ini pemerintah tidak salah kaprah sehingga menetapkan kebijakan : wajib belajar. Dan tidak menetapkan wajib bersekolah.

Substansi dari bersekolah (schooling) sebenarnya adalah belajar (learning). Belajar dapat dilakukan di manapun. Bersekolah hanyalah salah satu cara untuk belajar. Jadi, para orangtua tak perlu merasa bersalah atau rendah diri dengan menjalankan Home-Schooling. Juga, mereka yang menyekolahkan anaknya ke sekolah massal pun jangan dulu berbangga hati.

Sebab, kalau kita mau lebih menukik pada kedalaman realitas, kita patut mempertanyakan : Apakah benar bersekolah itu otomatis sama dengan belajar ? Jawabannya : Belum tentu !

Mari kita pelajari faktanya ! Saat ini, berapa puluh juta lulusan sekolah menengah atas dan perguruan tinggi ? Di sisi lain, berapa puluh juta pula yang berstatus pengangguran ? Padahal, betapa besar karunia Allah berupa kekayaan alam di negeri ini. [1] Apa yang mereka pelajari di sekolah ? Inilah salah satu fakta bahwa belajar di sekolah belum tentu efektif. Dengan kata lain bersekolah belum tentu berarti belajar.

Dalam banyak kasus, bersekolah bahkan menjadi penyebab kegagalan hidup seorang anak. Tidak sedikit anak yang terjerumus kepada hal-hal negatif yang menghancurkan hidup mereka, justeru mereka dapatkan lewat pergaulan di sekolah, baik dari (oknum) guru-guru mereka atau dari (oknum) kawan-kawan mereka.

Tanpa perlu penelitian mendalam, banyak yang menilai bahwa metode pembelajaran dan sistem evaluasi yang sekarang berjalan pun cenderung menciptakan mental-block (hambatan mental) yang menghambat laju kreatifitas anak, padahal justeru hal itu amat dibutuhkan di era informasi global saat ini.

Sekiranya otak anak terus menerus hanya dijadikan keranjang informasi iptek (itupun hanya sebatas untuk keperluan menyelesaikan soal-soal ujian). Maka dapat dibayangkan, betapa akan kesusahannya dia mengejar laju pertambahan informasi iptek yang terus berkembang dalam hitungan jam, atau bahkan menit.

Mengapa tidak terpikirkan oleh kita - para orangtua - untuk melatih dan mengasah otak mereka yang ajaib itu agar mampu memola ulang informasi tersebut, sehingga akhirnya mereka mampu menciptakan informasi baru ?

Merangsang anak untuk bertanya ‘Apa .?’ , ‘Mengapa . ?’ dan ‘Bagaimana. ?’ adalah hal yang penting sekali. Keingintahuan adalah tabiat dasar mereka.

Namun di samping itu, kita pun perlu merangsang anak untuk bertanya : ‘Mengapa tidak .?’ dan ‘Bagaimana jika .?’. Agar mereka menjadi insan-insan kreatif. Jangan keliru, kreatifitas pun sebenarnya adalah bakat alamiah setiap anak, jika saja para orangtua tidak malas mengasahnya. Atau, malah menyia-siakannya.

Sayang sekali, keingintahuan (curiosity) dan kreatifitas (creativity) - dua mutiara terpendam dalam jiwa anak - saat ini justeru banyak ditelantarkan di sekolah massal (formal). Wajar kalau Robert T. Kiyosaki berteriak lantang : “If You Want To Be Rich And Happy, Don’t Go To School !”.

Ada alasan lain : “Keunikan”. Anak itu unik! Cara belajar mereka juga unik, seunik sidik jari mereka; yakni masing-masing anak secara individual memiliki pembawaan dan cara yang khas dalam menyerap serta menggali pengetahuan. Jadi, bagaimana mungkin anak-anak dapat menemukan cara belajar mereka yang unik, jika mereka dituntut harus “berseragam” di sekolah ?

Berdasarkan penelitian [2] bahwa seseorang menjadi jenius adalah pada saat dia mampu menemukan sendiri cara belajarnya yang unik dan orisinil. [3] Seperti dikatakan Enstein : “Saya tidak memiliki bakat-bakat khusus, tetapi hanya memiliki rasa keingintahuan yang besar sekali.”.

Keingintahuan yang sangat besar - dilandasi keikhlasan - jugalah nampaknya yang membuat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah mampu bersabar duduk berjam-jam lamanya di sudut sepi perpustakaan. Beliau lakukan itu berpuluh-puluh tahun lamanya hingga akhirnya menjadi jenius di bidang hadits dan ilmu-ilmu syar’i lainnya. Menjadi mujaddid abad ini sebagaimana diakui ulama besar yang sezaman dengan beliau, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah.

Namun, agar tidak memunculkan kontroversi yang sia-sia, perlu ditegaskan di sini bahwa :

· Menyelenggarakan home-schooling tidak berarti hendak mengingkari atau menggugat profesi keguruan.

· Menyelenggarakan home-schooling tidak berarti hendak mengingkari atau menggugat peran sekolah formal yang sudah ada dan banyak memberikan kontribusi kepada masyarakat.

· Kami pun tidak mengklaim bahwa : Home-schooling adalah satu-satunya cara untuk mendidik Anak.

Tetapi . yang kami yakini :

- Home-Schooling adalah : Sarana paling efektif dalam upaya membangun hubungan baik dan hangat dengan Anak. Mendampinginya saat ia menjalani hari-harinya untuk terus tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa.

- Home-Schooling adalah : Alternatif terbaik dalam mendidik Anak, memelihara fithrahnya serta mengembangkan potensinya yang unik. Karena berpijak pada orisinalitas dan individualitasnya sebagai hamba Allah.

- Home-Schooling adalah : Sebuah kesempatan emas (furshoh dzahabiyyah) untuk menunaikan secara optimal peran dan tugas keorangtuaan yang nanti akan dituntut pertanggungjawabannya di hadapan Allah.

- Home-Schooling adalah : Sebuah kesempatan emas (furshoh dzahabiyyah) untuk mengembangkan potensi orangtua dan anak dalam hal penguasaan ilmu syar’i, memperbaiki akhlaq diri, membina keluarga sakinah, mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisai, bahkan mengembangkan potensi ekonomi.

ISLAMIC HOME-SCHOOLING

Islamic Home-Schooling (Selanjutnya akan disingkat IHS) adalah Home-Schooling yang diselenggarakan bertitik tolak dari pertimbangan syar’i, yakni kewajiban orangtua untuk mengasuh dan mendidik anak, serta dijalankan dengan mengikuti tuntunan AlQuran dan AsSunnah sebagaimana dipahami dan diamalkan para pendahulu ummat ini yang shalih (AsSalafush Sholih).

Tujuannya adalah :

1. Terciptanya keluarga sakinah; yang di dalamnya semua hak dan kewajiban tertunaikan dengan sebaik-baiknya

2. Terbentuknya generasi penerus yang bertauhid, berpegang kepada sunnah, berakhlaq mulia, berbadan sehat, multi-cerdas, kreatif dan mandiri serta memiliki semangat untuk membela Islam dan kaum muslimin

SUBYEK IHS

IHS PERMATA HATI dimaksudkan bagi anak usia 0 - 13 tahun secara umum. Atau sampai anak berusia 16 tahun bagi orangtua yang memiliki kemampuan mengajarkan gramatika Bahasa Arab (kitab gundul) dan ilmu-ilmu syar’i tingkat menengah. Adapun setelah anak memasuki usia baligh maka anak harus diarahkan untuk melakukan rihlah ilmiyyah guna menimba ilmu dari para ulama, jika hal itu memungkinkan (dan memang harus diupayakan).

MENGAPA “ISLAMIC HOME-SCHOOLING” ?

Menyelenggarakan IHS membutuhkan motivasi yang luar biasa besar dari pihak orangtua. Motivasi akan muncul ketika seseorang dengan sadar dan yakin memahami alasan mengapa dia melakukan sesuatu. Maka kita dituntut untuk memiliki prinsip.

Ada beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan prinsip dalam menyelenggarakan IHS :

1. Pertimbangan syar’i. Dalam syari’at, kewajiban mendidik anak adalah tanggung jawab orangtua.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim : 6)

“Setiap anak yang dilahirkan berada di atas fithroh (Islam), maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan dia yahudi atau nasrani atau majusi.” (HSR. Malik, Ahmad, AlBukhori, Muslim, Abu Daud, AtTirmidzi)

2. Pertimbangan fakta sejarah. Banyak kisah dalam AlQuran yang menggambarkan peran orangtua dalam mengasuh dan mendidik anak-anak mereka. (Baca : Qs. Maryam 54-55, QS. Luqman : 13) Interaksi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan cucu beliau, Hasan dan Husain, atau dengan sepupu beliau, Ibnu Abbas, atau dengan putera asuhnya yang berkhidmat kepada beliau, Anas bin Malik juga dapat kita jadikan referensi. Dari kalangan ulama Islam, tercatat misalnya Ibnul jauzi yang menulis kitab khusus untuk puteranya yang berisi petunjuk menuntut ilmu secara lengkap, Laftatul kabid fi nashihatil walad (Kitab ini patut menjadi rujukan dalam IHS).

3. Pertimbangan naturalitas. Perhatikanlah, anak ayam belajar tentang hidup kepada induknya. Anak kucing belajar tentang hidup kepada induknya. Bayi ikan paus belajar tentang hidup berpuluh tahun pada induknya. Tapi lihatlah si ujang dan si nyai. Kepada siapa mereka belajar tentang hidup ? Ah kasihan sekali, mereka belajar tentang hidup kepada orang lain yang tidak benar-benar mengenalnya !

4. Pertimbangan orisinalitas dan individualitas anak. Orisinalitas (keaslian) seorang anak adalah : fithroh, keingintahuan dan kreatifitasnya. Sedangkan individualitas (ke-diri-an), meliputi qolb dan jasad (contoh yang jelas : sidik jari, suara dan DNA). Orisinalitas dan individualitas menyebabkan tiap anak unik dalam segala hal, termasuk cara belajar mereka. Agar mereka dapat menemukan cara belajar mereka yang unik, anak wajib mendapatkan kebebasan. [4]

DARI MANA KITA MEMULAI ?

a. Tash-hihun Niyyah (memperbaiki niat)

Mendidik diri dan keluarga adalah ibadah. Ada dua rukun ibadah, salah satunya adalah niat yang ikhlash. Rukun yang lain : muwaafaqotusy-syar’i, yakni cocok dengan aturan syari’at. Jika salah satu rukunnya rusak maka amal akan menjadi sia-sia.

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia, Maka kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir (terjauhkan dari rahmat Allah) QS. AlIsra: 18

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.

Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Huud : 15-16)

Niatkan ber-IHS dalam rangka menjalankan kewajiban syar’i dengan mengharap keridhoan Allah dan jannah-Nya.

b. Bagi yang masih lajang dan berniat ber-IHS, maka berhati-hatilah memilih calon ibu/ayah dari anak anda. Tetapkan pilihan Anda itu di atas dasar Din. Jangan silau dengan penampilan zhahir.

c. Keluarga sakinah sebagai prasyarat

Salah satu keuntungan ber-IHS adalah kita memiliki kemauan kuat dan terprogram untuk mewujudkan Keluarga Sakinah. Hal yang mungkin terabaikan jika kita melempar tanggung jawab mendidik anak (usia 0-13 thn) kepada orang lain. Alasannya sederhana. Saat kita memutuskan ber-IHS, kita ingin suasana lingkungan rumah tertata se-Islami mungkin. Kita takut anak kita mendapat pengaruh buruk dari kebiasaan buruk kita selaku orang tua. Maka selalu ada upaya untuk memperbaiki diri dan keluarga.

Apa itu Keluarga Sakinah ? Definisi yang paling teknis adalah : Keluarga yang di dalamnya, semua hak dan kewajiban tertunaikan dengan baik. Syaikh Muhammad Bin Sholih Al-Utsaimin dalam kitabnya, “Huququn da’at ilaihal fithroh wa qorrorot-hasy syari’ah”, menerangkan 10 hak yang wajib ditunaikan, yakni : Hak-hak Allah, hak-hak Nabi, hak-hak orangtua, hak-hak anak, hak-hak kerabat, hak-hak suami-istri, hak-hak pemimpin dan rakyat, hak-hak tetangga, hak-hak kaum muslim secara umum, hak-hak non muslim.

Semua hak ini wajib dipelajari secara rinci agar bisa ditunaikan dengan benar dan sempurna. Langkah pertama adalah mempelajari. Langkah kedua menerapkannya. Langkah ketiga terus-menerus mengevaluasi sisi mana yang belum tertunaikan. Mewujudkan keluarga sakinah menjadi bukan khayalan lagi, melainkan kesungguh-sungguhan yang berkesinambungan.

d. Dengan sepenuh hati menyukai anak anda. Senang bersamanya, sedih berpisah darinya. IHS menuntut komitmen total dari orangtua, khususnya ibu. IHS bukan sekedar memindahkan belajar dari sekolah ke rumah melainkan sebuah pola interaksi ideal orangtua-anak yang dibalut kehangatan dan kelembutan.

e. Menjaga rumah dari syetan

Kita adalah ‘keluarga besar’ Nabi Adam ‘alaihis salam. Apa yang menimpa beliau bersama isterinya, Hawa, adalah bagian dari sejarah dan hidup kita hari ini. Adam adalah bapak kita dan Hawa adalah ibu kita, dan kita mengetahui apa yang telah menimpa mereka diakibatkan kedengkian iblis. Membaca ulang kisah awal penciptaan manusia akan membantu kita memahami - atau tepatnya : selalu tersadarkan - tentang asas pendidikan Islami yang sebenarnya. Maka kenalilah iblis dan tipu dayanya lalu jadikanlah dia musuh untuk diperangi.

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, Maka jadikalah ia musuh(mu), Karena Sesungguhnya syaitan-syaitan itu Hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir : 6)

Beberapa kiat menjaga rumah dari syetan :

1. Perbanyak melakukan sholat di rumah [5] , 2. Perbanyak membaca Al Quran di rumah, 3. Biasakan dzikir pagi dan sore, 4. Jaga adab-adab di rumah yang di dalamnya ada bacaan-bacaan yang disyari’atkan, 5. Bersihkan rumah dari gambar atau bentuk-bentuk salib, 6. Bersihkan rumah dari gambar-gambar hewan dan manusia, 7. Bersihkan rumah dari patung hewan dan manusia, 8. Bersihkan rumah dari suara lonceng, 9. Bersihkan rumah dari suara musik, 10. Jangan biarkan anjing berkeliaran di sekitar rumah. 11. Bersihkan rumah dari kemungkaran.

f. Menciptakan lingkungan rumah yang kondusif : aman, sehat serta penuh daya-rangsang terhadap kreatifitasnya

Tentang kriteria aman, sehat dan penuh daya rangsang dapat dipelajari lebih lanjut dari beragai referensi. Hanya saja ada 2 prinsip yang perlu dicatat :

Pertama, lebih baik membatasi lingkungan daripada membatasi anak. Kedua, kurangi aturan (omelan-omelan) dengan cara menetapkan tempat tertentu untuk barang tertentu kemudian beri label dan tempel aturan singkat yang jelas dan dapat dibaca anak.

g. Memiliki kemauan keras untuk mempelajari baca tulis AlQuran dan ilmu-ilmu syar’i tingkat dasar

Dapat dikatakan bahwa materi pelajaran inti yang wajib diajarkan kepada anak usia s/d 13 tahun (usia ibtida-iyyah) adalah apa yang juga wajib diketahui semua muslim dan muslimah. Maka tidak ada alasan untuk menghindari kewajiban mempelajarinya, walaupun sekiranya kita tidak memiliki anak. Apalagi jika kita memiliki anak. Jelaslah ber-IHS merupakan peluang emas bagi kita untuk meningkatkan kwalitas keislaman kita.

h. Mempelajari keterampilan mendidik dengan cinta

Peran orangtua dalam mendidik anak persis seperti petani yang menanam padi di sawah. Yang harus dikerjakan dan selalu diperhatikan ada 5 hal :

1. Mempelajari ilmu tentang bercocok tanam (poin g dan h)

2. Memilih benih yang unggul (poin b)

3. Mempersiapkan lahan dengan mencangkul dan membajak (a, d, c dan f)

4. Memberikan nutrisi yang cukup : air dan pupuk

5. Menjaga dari hama (poin e)

Selanjutnya petani tidak ikut campur lagi. Bagaimana benih padi itu akan tumbuh, berapa lama berbiji dan menghasilkan biji seberapa banyak adalah merupakan ketentuan Allah. Petani tidak boleh dan memang tidak bisa intervensi. Petani sudah berusaha maksimal. Dia akan mendapatkan pahala di sisi Allah, jika amalnya itu ikhlash dan sesuai dengan syari’at.

Semuanya sudah dijelaskan kecuali nomor 4, memberikan nutrisi. Nutrisi dalam mendidik adalah : Rasa hormat yang tulus pada anak, Penuh pengertian, Peka terhadap masalah dan kebutuhannya, Menerima apa adanya dengan lapang dada. Jika menggunakan kosakata populer : Respek, Empati, Sensitif dan Penerimaan (dapat disingkat RESeP).

APA YANG HARUS DIAJARKAN ?

Untuk matapelajaran umum dapat mengacu pada kurikulum Diknas. Bisa juga menetapkan sendiri. Menjadikan hidup sebagai kurikulum, tidak ada yang melarang.

Penting untuk selalu diingat : bahwa cara dan pola pendekatan Home-Schooling dalam menyampaikan materi pelajaran murni berbeda dengan di sekolah. Dalam Home-Schooling yang ditekankan adalah memilih cara berinteraksi dan berkomunikasi yang tepat serta khas antara orangtua dan anak.

Orangtua dituntut kreatif dalam memilih metode dan media yang membuat interaksi menjadi hangat dan akrab. Jadikan proses belajar sebagai proses alamiah hubungan orangtua-anak (seperti halnya melahirkan, menyusui dan memberi makan). Semua momen interaksi orangtua-anak adalah belajar. Jadi dalam Home-Schooling anda bisa gunakan waktu kapanpun - jika dianggap tepat - untuk memberikan penguatan-penguatan pada salah satu materi yang menurut anda perlu diperkuat.

Materi Diniyyah yang diajarkan di IHS PERMATA HATI, secara garis besar meliputi :

A. Tarbiyah Syakhshiyyah (Pembinaan Karakter)

B. Tahfizhul Quran

C. Tahfizhul Ahaadits

B. ‘Ulum Syar’iyyah (Ilmu-ilmu Syar’i) : Aqidah, Manhaj, Fiqh, Tafsir, Akhlaq, Tarikh

C. Bahasa Arab

MENEPIS KERAGUAN

· Keraguan Pertama : “Aku tidak bisa menghadapi anak !”

Jawaban : Kala anda memutuskan untuk menikah, apakah tidak terpikirkan bakal memiliki anak ? Mempelajari keterampilan mengasuh dan mendidik anak adalah konsekwensi yang harus anda pikul dari keputusan yang anda ambil itu. Kecuali anda seorang egois yang hanya memikirkan kesenangan pribadi dari sebuah pernikahan ! Perhatikanlah, banyak orang yang mempelajari keterampilan seksual dengan cara membeli banyak buku referensi atau berkonsultasi kepada pakar seks, meski keterampilan tersebut amat sangat bersifat primitif dan - maaf - menjijikan kala dibuka di depan publik. Mengapa anda kalah oleh mereka. Anda bisa bersaing dengan mereka dengan mempelajari keterampilan yang jauh lebih penting, yakni keterampilan mendidik anak. Banyak wanita khawatir penampilannya tidak lagi menarik di hadapan suami lalu berusaha keras dengan berbagai cara. Tapi amat sedikit yang khawatir kalau penampilannya tidak lagi menarik di hadapan anak-anaknya sehingga tidak melakukan apapun untuk mereka. Ah, tragis sekali !

· Keraguan kedua : “Aku bukan ustadz !”

Jawaban : Ini sudah dijelaskan, bahwa materi pelajaran inti yang wajib diajarkan kepada anak usia s/d 13 tahun (usia ibtidaiyyah) adalah apa yang juga wajib (fardhu ‘ain) diketahui setiap muslim dan muslimah. Maka tidak ada alasan untuk menghindari kewajiban mempelajarinya, walaupun sekiranya kita tidak memiliki anak. Apalagi jika kita memiliki anak. Anda bisa bertanya pada diri sendiri : “Apakah kalau aku tidak ber-IHS, aku bebas dari kewajiban mempelajarinya ?”.

· Keraguan ketiga : Seorang ibu barangkali berkata : “Kalau aku secara total harus mengurus anak, bagaimana aku bisa mengembangkan diri ?”

Jawaban : Saya ingin menepis keraguan ini dengan menukil beberapa kalimat yang ditulis seorang wanita barat yang beragama nasrani, agar kaum muslimat - yang telah dijaga kehormatan dirinya oleh Allah dengan hijab - dapat merenungkannya (semoga kesimpulan mereka sama dengan saya, bahwa kalimat-kalimat ini lebih layak diucapkan oleh seorang muslimah yang berhijab) :

“Dalam budaya Barat, terbebas dari tanggung jawab mengasuh anak seringkali dipandang sebagai cara terbaik dan satu-satunya cara bagi seorang ibu untuk mengembangkan diri. Saya tidak setuju sama sekali dengan pandangan seperti itu. Waktu yang saya habiskan di rumah, bermain dan belajar bersama anak-anak, adalah masa paling produktif dalam hidup saya. Saya serius!”. (Marty Layne, Ibuku Guruku, hal. 26) Selanjutnya dia berkata di hal. 364 : “Sebenarnya hanya dengan benar-benar merawat dan mengasuh anaklah kita belajar bagaimana menjadi ibu.” . Lanjutnya lagi, masih di hal. 364 : “Mari kita lihat sebagian cara untuk mengembangkan kehidupan yang tidak mengharuskan pemisahan dari anak-anak kita.”

Kemudian dia memberikan contoh : membaca, merajut, membuat karya tulis atau berolah raga ringan !

MEMETIK MANFAAT

Apa manfaat menjalankan IHS ? Kalau saja tidak ada manfaat lain dari IHS selain pahala dari sisi Allah atas upaya kita menunaikan peran dan kewajiban selaku suami/istri dan atau ayah/ibu secara maksimal dan optimal, maka bagi seorang mukmin hal itu sudah cukup. Tapi ada banyak manfaat lain yang semuanya sudah disinggung pada penjelasan yang terdahulu. Semoga bermanfaat.

Karawang, 28 Shafar 1428 H/18 Maret 2007

———————————————————-

[1] Contoh kecil : Menurut keterangan Direktur Bank Mu’amalat Indonesia, bahwa panjang pantai Indonesia adalah 88.000 km sehingga menempatkan Indonesia termasuk 10 negara berpantai terpanjang di dunia. Ironisnya, kita masih mengimpor 1,5 juta ton garam per tahun !

[2] “Your child can think like a genius, How to unlock the gifts in every child”, karya Bernadette Tynan, presiden Beautiful Minds, sebuah lembaga amal yang didirikan untuk mendanai penelitian-penelitian yang bertujuan mengembangkan bakat alami anak-anak, mantan dosen senior pada Research Centre for Able Children di Oxford. (Diterjemahkan dengan judul : “Melatih anak berpikir seperti jenius, Menemukan dan mengembangkan bakat yang ada pada setiap anak”, Penerbit Gramedia). Inti buku itu adalah memperkenalkan : Thumb Print Learning, yakni : cara belajar seunik sidik jari.

[3] Belajar secara mulaazamah kepada masyayikh, sebagaimana dijalankan para salafus sholih berabad-abad lamanya, memberikan banyak kebebasan kepada siswa untuk menentukan matapelajaran apa yang akan dipelajari dan bagaimana dia mengembangkannya. Sehingga para siswa memiliki kesempatan yang luas untuk menemukan sendiri cara belajarnya yang unik. Allaahu a’lam.

[4] Bebas adalah keadaan seseorang ketika melakukan sesuatu dengan senang hati dan atas pilihannya sendiri. Mukmin, ketika melakukan ketaatan (menunaikan perintah Allah dan menjauhi laranganNya) melakukannya dengan senang hati dan berdasarkan pilihannya sendiri, bukan karena tekanan. Maka mukmin adalah orang yang sungguh-sungguh bebas dalam makna yang hakiki. Munafiq adalah orang yang sungguh-sungguh terbelenggu jiwanya. Kafir juga bebas, tetapi kebebasannya bersifat maya (semu), karena secara internal dia sedang berperang dengan fithrohnya dan terbelenggu oleh hawa-nafsunya, serta berada di bawah ancaman azab. Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa peran orangtua adalah ‘menanamkan’ pemahaman yang benar tentang kebaikan dan keburukan ke dalam pikiran anak, sehingga nanti anak bertindak berdasarkan pemahaman, bukan karena paksaan dari luar. Proses menanam ini harus dilakukan dengan dengan : ikhlash, berkesinambungan, multi-metode serta pendekatan lembut dan penuh kesabaran. Tidak ada batasan waktu tertentu yang diperlukan untuk proses ini. Nabi Nuh ‘alaihi salam tinggal bersama kaumnya selama 950 th, berdakwah siang malam (kesinambungan), dengan i’lan dan isror (multi-metode). Tidak dapat dikatakan gagal, hanya karena sedikit yang mengikutinya. Tidak ada kata GAGAL dalam kamus mendidik, jika sudah dilakukan dengan benar. Kita bertanggung jawab pada proses bukan pada hasil ! Menemukan cara yang pas untuk menanamkan pemahaman yang benar pada pikiran anak adalah sebuah seni mendidik yang amat indah! Selebihnya adalah kesiapan kita untuk memberi tempo yang cukup kepadanya untuk tumbuh dan berkembang.

[5] Pria dewasa wajib sholat fardhu di masjid. Jadi yang dimaksud bagi mereka adalah memperbanyak sholat-sholat sunnah di rumah.